Senin, 13 September 2010

grinding punk corporation


Kamis, 21 Januari 2010

GRINDING PUNK CORPORATION


GRINDING PUNK CORPORATION

Oleh awenk-beng'' tiga angka enam


Sejak awal kemunculannya awal tahun 1990an, punk di Bandung disemarakkan oleh band-band yang identik dengan Sex Pistols, Ramones, dan Exploited. Kemunculan band-band ini seiring dengan makin maraknya simbol-simbol punk yang diadopsi para punker Bandung. Lambang-lambang seperti huruf ‘A’ atau ‘NRQ’ yang merupakan simbol dari ideologi ‘anarchy’, atau tulisan ‘chaos’ tampak mendominasi seluruh atribut punk, mulai dari jaket kulit berspike, jins ketat dan boots, hingga rajah di seluruh badan. Semarak ini semakin dibuaskan oleh pemberitaan media yang selalau menganggap musik punk sebagai musik kesetaraan. Musik for you and me, di mana semua orang harus dapat menyanyikannya bersama-sama dan karenanya, musik punk rata-rata dikemas sangat sederhana. Tiga atau empat jurus, beres. Stereotip inilah yang kemduian berkembang pesat secara musikal. Yang lolos dari pemberitaan media mengenai punk adalah satu : tak digalinya konsep ‘chaos’ dan ‘anarchy’ itu sendiri yang seharusnya menjadi state of mind para punker. Melalui Grinding Punk Corporation, Butchex dkk mencoba mendobrak paradigma itu.

***


Adalah Butchex The Cruels yang baru saja memecat seluruh personilnya tahun 2000an ketika ia datang ke Studio Pieces dan mengadukan kekecewaaannya kepada Dani Jasad. Butchex melihat pola berpikir semua punker Bandung telah terbentuk oleh pemberitaan media massa yang cenderung status quo. Bahwa musik punk itu haus gini, yang gini loh yang musik punk, yang sederhana, tak lebih dari tiga atau empat jurus hingga orang-orang dapat dengan mudah memainkannya, kord-kord dan riff-riffnya juga tak njelimet hingga tak butuh energi banyak dalam menciptakan lagu dan memainkannya. Asal pesan dalam lirik sudah terpenuhi maka sudahlah, beres. Mindset itulah yang diciptakan media mengenai punk dan segera menjadi stereotip. Yang lalu cenderung dilupakan punker adalah esendi ideologi punk itu sendiri : ‘chaos’ dan ‘anarchy’.
Bagi Butchex, ‘chaos’ dan ‘anarchy’ adalah sebuah kondisi tanpa aturan, di mana tak ada satupun bisa menguasai dan mengatur hidup individu. Individu berbebas berkehendak tanpa harus ada aturan-aturan yang mengekang hasrat mereka, apalagi dalam bermusik. Hasrat bermusik Butchex adalah memainkan musik ekstrim sekencang-kencangnya dan mengekspresikan dirinya sebebas-bebasnya melalui The Cruels. Kekecewaan Butchex berlipat-lipat ketika tak ada satu punker pun yang bisa mengejar hasrat musik yang Butchex impikan, juga ketika mereka lalu menggugat, “Naha punk teh kieu Butch? Jiga grindcore ieu mah?” Hingga saat itu yang selalu Butceh inginkan adalah menjawab dengan teriakan, “Punk mah kumaha aing atuh, anjing! Bebaskeun!” Namun yang lebih ia inginkan adalah membentuk sebuah band, bukan menjawab pertanyaan konyol itu. Dan kekecewaannya semakin berlipat ketika menerima kenyataan para punker yang ia temui tak bisa mengejar kekencangan musik ekstrim yang ia impikan.
Maka alam curhatnya, Butchex mengajak Dani, Opik, dan Komenx—semuanya adalah musisi death metal dan black metal—untuk membantunya membentuk pola awal musik The Cruels. Konsepnya melenceng dari punk secara umum di Indonesia : punk attitude dengan ekspresi musik seekstrim mungkin.
Musim gugur 2001, The Cruels mulai menggarap album mereka yang kelak kita kenal sebagai album Hollow Horror. Selain lagu-lagu sendiri, The Cruels juga membawakan lagu Jasad dari album C’Est la Vie, “Whole System Fuck”, lagu Keparat “Police Shit”, serta mendaur ulang lagu Metallica, “Whiplash”, yang sempat masuk kompilasi Tribute to Metallica. Dalam memperkuat imej ekstrim dalam musiknya, Butchex juga mengajak kawan-kawannya di scene metal Ujungberung untuk ikut menambah kekentalan ekstrim musiknya. Mereka adalah Toteng Forgotten, Amenk Disinfected, Addy Gembel, dan Ivan Scumbag. Pun dalam artwork, Butchex mempercayakan penggarapannya kepada para musisi grindcore, Gustavo dan Dittorture. Logo The Cruels sendiri dibuat oleh Opick Dead Cryptorium Inc., sangat berbau metal ekstrim.
Tak cuma bermain di ranah konsep musik dan artwork album, Butchex juga mengambil tema lirik yang tidak standar punk Bandung dalam albumnya yang kemduian bertitel Hollow Horror dan dirilis oleh Arrack Records itu. Butchex juga bermain di termin lirik. Ada dua belas lagu yang direkam The Cruels saat itu. Sebagian besar lirik merupakan hasil kolaborasi Butchex bersama kawannya di Homeless Crew, Kimung, yang kemudian ia olah ulang. Lagu-lagu The Cruels yang direkam saat itu adalah “Dancing”, “Whole Systems Fuck”, “Police Shit”, “Chemical Inc.”, “Life Sucks Scum Fuck”, “Kill Racist”, “Death’s Line”, “Hollow Horror”, “Sign”, “Ripped… My Soul”, “I’m the Hate”, dan “Whiplash”. Dari keterbukaan Butchex kepapa lirik-lirik yang dibuat Kimung, dapat dilihat jika The Cruels sejak awal memang punk rock yang menyimpang di Indonesia. “Dancing”, misalnya adalah lagu tentang ‘asap biru sabu-sabu yang menari bolak-balik di track alumunium foil’. Atau “Chemical Inc.” yang jelas lagi-lagi berkonotasi penggunaan kimia. Atau “Sign’ yang menceritakan tanda-tanda yang mendukung sugesti atas sebuah fenomena yang akan atau sedang kita jalani. Lirik-lirik dekonstruksi ini dikemas Kimung sebagai puisi-puisi bergaya beat yang ia buat selagi tak sadar dan dalam pengaruh drugs, yang kemudian diterjemahkan Butchex secara brilian dalam bahasa global musik punk rock dan jalanan : pemberontakan.
Yang paling kentara sebagai penyelenehan punk The Cruels, tentu saja musik yang digarap trio Dani-Opick-Komenk. Ini sama sekali bukan beat-beat punk, tapi whaddafukkinhell! Punk adalah chaos dan kebebasan dan dua hal itulah yang dieksplorasi The Cruels, para punker sebenarnya. Musik dalam Hollow Horror adalah brutal death metal sederhana atau straight grindcore atau mungkin punk njlimet dan super cepat. Musik ini pada dasarnya adalah formula yang dirumuskan Butchex sejak awal ia berkomitmen membangun sebuah band punk rock. Formula musik ini pula yang tak lama kemudian menggugah sel baru punk rock Ujungberung Rebels untuk bangkit : Grinding Punk Corporation. Dalam bagian belakang cover Hollow Horror, di tengah kolase Comerads of Hate, Butchex memajang tulisan provokatif “It’s Punk Grinding Time!!!”

***

Rilisnya Hollow Horror oleh The Cruels merupakan sebuah tonggak baru dalam dinamika musik Ujungberung Rebels, terutama punk. Hollow Horror adalah sebuah terobosan baru dalam memainkan musik punk. Musiknya grinding yang rapat dengan ketukan hypercan ditingkahi lirik-lirik sangat kental pemberontakan yang dilafalkan dengan cara growling dan screaming. Tapi ini bukan grindcore. Ini jelas adalah punk. “Punk bukan cuma ‘dugtakdugtak’ atau musik tiga jurus beres, Man.. Punk itu pemberontakan! Termasuk memberontak ke pola-pola mainin musik punk yang udah mapan. Inilah punk kami! Tong maenkeun musik nu kitu-kitu wae, lah! Mainin sesuatu yang beda!” begitu seru Butchex. Hal yang juga senada dicetuskan Apuy, scenester The Black Evil Saraf Timur Squad dari Cicalengka, vokalis band Tikus Kampung, yang kemduian bersekutu dengan Butchex. Pertama kali mendengar Hollow Horror, Apuy merasa satu ekspresi dengan Butchex. Ia merasa sangat cocok dengan musik yang dimainkan The Cruels karena bandnya, Tikus Kampung memiankan musik yang kurang lebih berpola sama dengan Hollow Horror, juga berideologi sama dengan Butchex dalam memandang punk.
Tikus Kampung dan The Cruels pun segera bersekutu membentuk sebuah kelompok band-band beraliran grinding-punk. Ujungberung dalam hal ini segera menjadi episentrum tempat kelompok yang kemudian perlahan menggasak jalanan itu. Butchex dan Apuy menamakan kelompok mereka Grinding Punk Corporation, sebuah kelompok yang terdiri dari band-band punk yang memainkan musik mereka dengan cara grinding. “Lain rek so’ eksklusif, misahkeun diri ti scene punk nu geus aya. Tapi, nya ieu urang-urang. Punk nu grinding. Punk nu tarik. Grinding Punk Corporation nyoba ngumpulkeun band-band nu sajenis, mere wadah keur berkarya babarengan” tandas Apuy. Yang kemduian Apuy rujuk sebagai “urang-urang’ adalah enam band grinding-punk : The Cruels, Tikus Kampung, Sedusa, Carnaval of Anaconda, Sick Man from Egypt, dan Pemberontak.
Sebagai manifestasi pemberontakan mereka pada kaidah-kaidah punk yang sudah mapan, Grinding Punk Corporation menggelar sebuah gig yang menampilkan band-band punk yang khusus mengekspresikan musikalitas mereka dengan cara-cara yang grinding dan ekstrim. Sekitar dua puluh band grinding-punk menghajar venue Ultimus tahun 2005. Yang unik, Grinding Punk Corporation kemudian tak lantas membakukan diri sebagai status quo, sebuah organisasi, atau bahkan komunitas. Bahkan tak selintas pun sepertinya ada di kepala masing-masing mereka yang ada di dalam Grinding Punk Corporation. Karenanya kelompok ini tak punya markas, tempat nongkrong, base camp, atau hal fisik apapun yang menunjukkan mereka eksis. Namun demikian, secara intens mereka saling berkomunikasi, bertukar informasi melalui imel, atau sekedar smsan untuk saling bertemu. Siapapun yang tertarik kepada kelompok pemuja kebebasan ini silahkan bebaskan dirimu dan cari informasinya di www.myspace.com/grindingpunkcorporation.

BURGERKILL


Minggu, 24 Januari 2010

BURGERKILL

 


Burgerkill adalah sebuah band Metal Hardcore yang berasal dari kota Bandung. Nama band ini diambil dari sebuah nama restaurant makanan siap saji asal Amerika, yaitu Burger King, yang kemudian oleh mereka diparodikan menjadi "Burgerkill".

Burgerkill berdiri pada bulan Mei 1995 berawal dari Eben, seorang gitaris Jakarta yang pindah ke Bandung untuk melanjutkan sekolahnya. Dari sekolah itulah Eben bertemu dengan Ivan, Kimung, dan Dadan sebagai line-up pertamanya. Band ini memulai karirnya sebagai sebuah side project, just a bunch of metal kids jamming their axe-hard sambil menunggu band orisinilnya dapat panggilan manggung. Tapi tidak buat Eben, dia merasa bahwa band ini adalah hidupnya dan berusaha berfikir keras agar Burgerkill dapat diakui di komunitasnya.

Ketika itu mereka lebih banyak mendapat job manggung di Jakarta melalui koneksi teman-teman Hardcore Eben, dari situlah antusiasme masyarakat underground terhadap Burgerkill dimulai dan fenomena musik keras tanpa sadar telah lahir di Indonesia. Walhasil line-up awal band ini pun tidak berjalan mulus, sederet nama musisi underground pernah masuk jajaran member Burgerkill sampai akhirnya tiba di line-up solid saat ini.

Ketika mereka berhasil merilis single pertamanya lewat underground fenomenal Richard Mutter yang merilis kompilasi cd band-band underground Bandung pada awal 1997. Nama lain seperti Full Of Hate, Puppen, dan Cherry Bombshell juga bercokol di kompilasi yang berjudul "Masaindahbangetsekalipisan" tersebut. Memang masa itu masa indah musik underground. Everything is new and new things stoked people! lagu Revolt! dari Burgerkill menjadi nomor pembuka di album yang terjual 1000 keping dalam waktu singkat ini. Pada akhir tahun 1997 mereka kembali ikut serta dalam kompilasi "Breathless" dengan menyertakan lagu "Offered Sucks" didalamnya.

Awal tahun 1998 perjalanan mereka berlanjut dengan rilisan single Blank Proudness, pada kompilasi band-band Grindcore Ujungberung berjudul "Independent Rebel". Yang ketika itu dirilis oleh semua major label dengan distribusi luas di Indonesia dan juga di Malaysia. Setelah itu nama Burgerkill semakin banyak menghias concert flyers di seputar komunitas musik underground. Semakin banyak fans yang menunggu kehadiran mereka diatas panggung. Burgerkill sang Hardcore Begundal!

Pada awal tahun 1999, mereka mendapat tawaran dari perusahaan rekaman independent Malaysia, Anak Liar Records yang berakhir dengan deal merilis album Three Ways Split bersama dengan band Infireal (Malaysia) dan Watch It Fall (Perancis). Hubungan dengan network underground di Malaysia dan Singapura berlanjut terus hingga sekarang. Burgerkill menjadi langganan cover zine independent di negara-negara tersebut dan berimbas dengan terus bertambahnya fans mereka dari negeri Jiran.

Di tahun 2000, akhirnya Burgerkill berhasil merilis album perdana mereka dengan title "Dua Sisi" dan 5000 kaset yang di cetak oleh label indie asal Bandung, Riotic Records ludes habis dilahap penggemar fanatik yang sudah tidak sabar menunggu sejak lama. Di tahun yang sama, band ini juga merilis single "Everlasting Hope Never Ending Pain" lewat kompilasi "Ticket To Ride", sebuah album yang benefitnya disumbangkan untuk pembangunan sebuah skatepark di kota Bandung.

Beberapa Mainstream Achievement pun sempat mereka rasakan, salah satunya menjadi nominator Band Independent Terbaik ala majalah NewsMusik di tahun 2000. Awal tahun 2001 pun mereka berhasil melakukan kerjasama dengan sebuah perusahaan produk sport apparel asal Amerika: Puma yang selama 1 tahun mensupport setiap kali Burgerkill melakukan pementasan. Dan sejak Oktober 2002 sebuah produk clothing asal Australia yang bernamaINSIGHT juga mensupport dalam setiap penampilan mereka.

Sebuah kejutan hadir pada pertengahan tahun 2004, lewat album "Berkarat" Burgerkill masuk kedalam salah satu nominasi dalam salah satu event Achievement musik terbesar di Indonesia "Ami Awards". Dan secara mengejutkan mereka berhasil menyabet award tahunan tersebut untuk kategori "Best Metal Production". Sebuah prestasi yang mungkin tidak pernah terlintas di benak mereka, dan bagi mereka hal tersebut merupakan sebuah tanggung jawab besar yang harus mereka buktikan melalui karya-karya mereka selanjutnya.

Akhirnya mereka sepakat untuk merilis album ke-3 "Beyond Coma And Despair" di bawah label mereka sendiri Revolt! Records di pertengahan Agustus 2006. Album ketiga yang memiliki arti sangat dalam bagi semua personil Burgerkill baik secara sound, struktur, dan format musik yang mereka suguhkan sangat berbeda dengan dua album sebelumnya. Materi yang lebih berat, tegas, teknikal, dan berani mereka suguhkan dengan maksimal disetiap track-nya.

Namun tak ada gading yang tak patah, sebuah musibah terbesar dalam perjalanan karir mereka pun tak terelakan, Ivan sang vokalis akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya ditengah-tengah proses peluncuran album baru mereka di akhir Juli 2006. Peradangan pada otaknya telah merenggut nyawa seorang ikon komunitas musik keras di Indonesia. Tanpa disadari semua penulisan lirik Ivan pada album ini seolah-olah mengindikasikan kondisi Ivan saat itu, dilengkapi alur cerita personal dan depresif yang terselubung sebagai tanda perjalanan akhir dari kehidupannya.

Akhirnya setelah melewati proses Audisi Vokal, mereka menemukan Vicki sebagai Frontman baru untuk tahap berikutnya dalam perjalanan karir mereka. Dan pada awal Januari 2007 mereka telah sukses menggelar serangkaian tour di kota-kota besar di Pulau Jawa dan Bali dalam rangka mempromosikan album baru mereka.

Target penjualan tiket di setiap kota yang didatangi selalu mampu mereka tembus, dan juga ludesnya penjualan tiket di beberapa kota menandakan besarnya antusiasme masyarakat musik cadas di Indonesia terhadap penampilan Burgerkill.

Bandung Masuk 5 Besar Dunia Komunitas Musik Underground


Kamis, 21 Januari 2010

Bandung Masuk 5 Besar Dunia Komunitas Musik Underground


Beside, yang menggelar konser launching albumnya Sabtu lalu (9/2/2008) di AACC, merupakan satu dari
sekitar 200 grup musik underground di Kota bandung.
Besarnya jumlah itu menjadikan Bandung
masuk jajaran lima besar komunitas
underground terbesar dalam skala internasional setelah Amerika, Jerman, Inggris
dan Belanda. Demikian disampaikan pengamat musik underground, Reggi Kayong
Munggaran, saat dihubungi detikbandung, Senin (11/2/2008). “Berdasarkan penelitian-penelitian yang pernah
dilakukan orang luar negeri tentang subkultur di Bandung.
Ternyata Bandung memiliki animo yang cukup besar terhadap musik underground,
hingga menempati posisi ke lima
komunitas terbesar undrground di dunia,” tutur Reggi.
Menurut Reggi, besarnya animo
masyarakat, anak muda khususnya, terhadap musik underground merupakan
kecenderungan yang aneh. Begitupun menurut negara-negara lain penganut
subkultur yang sama. Musik underground sendiri, lanjut reggi, merupakan budaya
cangkokan. Dimana dalam proses pencariannya membentuk kultur memberdayakan diri
sendiri dan komunitas. Berangkat dari pemikiran itulah, para pelaku musik
underground memiliki etos kerja ””Do it Your Self”. Karena musik
underground merupakan musik subkultur bukan musik mainstream, dimana tidak
semua orang bisa menikmati, tidak semua orang bisa melihat. Sehingga untuk
tetap menjaga eksistensi musik ini harus dilakukan sendiri. “Grup
underground membuat konser sendiri, show sendiri, kecenderungannya lebih
eksklusif karena kapitalisme sudah mengakomodasi musik itu sendiri. Kalau musik
seperti ini siapa yang mau mendengar, studio mana yang mau membuat rekaman.
Kecuali oleh orang-orang yang memiliki kecintaan terhadap musik underground,” jelas Reggi.
Reggi mengatakan, dari sekian banyaknya grup musik underground di kota
Bandung, sudah banyak yang
melebarkan sayap ke luar negeri, seperti Eropa. Hal itu bisa terjadi ketika ada
orang asing yang tertarik melihat
subkultur di kota Bandung,
sehingga mereka pun melakukan penggalangan dana untuk membawa musik underground
Bandung bermain di dunia
internasional. Menyinggung mengenai pandangan masyarakat tentang musik
underground yang seringkali diidentikkan dengan kekerasan Reggi menuturkan,
para pelaku musik underground pasrah tapi tidak cenderung apatis. Untuk
mencairkan opini masyarakat, mereka seringkali mengadakan kampanye anti
kekerasan. “Ke depannya, kami akan melakukan kampanye anti HIV AIDS dan
anti narkoba,” tambah Reggi.

Minggu, 05 September 2010

BANDUNG UNDERGROUND666

Sejarah Musik Underground di Bandung

 


 

 

 

Di Bandung sekitar awal 1994 terdapat studio musik legendaris yang menjadi cikal bakal scene rock underground di sana. Namanya Studio Reverse yang terletak di daerah Sukasenang. Pembentukan studio ini digagas oleh Richard Mutter (saat itu drummer PAS) dan Helvi. Ketika semakin berkembang Reverse lantas melebarkan sayap bisnisnya dengan membuka distro (akronim dari distribution) yang menjual CD, kaset, poster, t-shirt, serta berbagai aksesoris import lainnya. Selain distro, Richard juga sempat membentuk label independen 40.1.24 yang rilisan pertamanya di tahun 1997 adalah kompilasi CD yang bertitel “Masa indah banget sekali pisan.” Band-band indie yang ikut serta di kompilasi ini antara lain adalah Burger Kill, Puppen, Papi, Rotten To The Core, Full of Hate dan Waiting Room, sebagai satu- satunya band asal Jakarta.

Band-band yang sempat dibesarkan oleh komunitas Reverse ini antara lain PAS dan Puppen. PAS sendiri di tahun 1993 menorehkan sejarah sebagai band Indonesia yang pertama kali merilis album secara independen. Mini album mereka yang bertitel “Four Through The S.A.P” ludes terjual 5000 kaset dalam waktu yang cukup singkat. Mastermind yang melahirkan ide merilis album PAS secara independen tersebut adalah (alm) Samuel Marudut. Ia adalah Music Director Radio GMR, sebuah stasiun radio rock pertama di Indonesia yang kerap memutar demo-demo rekaman band-band rock amatir asal Bandung, Jakarta dan sekitarnya. Tragisnya, di awal 1995 Marudut ditemukan tewas tak bernyawa di kediaman Krisna Sucker Head di Jakarta. Yang mengejutkan, kematiannya ini, menurut Krisna, diiringi lagu The End dari album Best of The Doors yang diputarnya pada tape di kamar Krisna. Sementara itu Puppen yang dibentuk pada tahun 1992 adalah salah satu pionir hardcore lokal yang hingga akhir hayatnya di tahun 2002 sempat merilis tiga album yaitu, Not A Pup E.P. (1995), MK II (1998) dan Puppen s/t (2000). Kemudian menyusul Pure Saturday dengan albumnya yang self-titled. Album ini kemudian dibantu promosinya oleh Majalah Hai. Kubik juga mengalami hal yang sama, dengan cara bonus kaset 3 lagu sebelum rilis albumnya.

Agak ke timur, masih di Bandung juga, kita akan menemukan sebuah komunitas yang menjadi episentrum underground metal di sana, komunitas Ujung Berung. Dulunya di daerah ini sempat berdiri Studio Palapa yang banyak berjasa membesarkan band-band underground cadas macam Jasad, Forgotten, Sacrilegious, Sonic Torment, Morbus Corpse, Tympanic Membrane, Infamy, Burger Kill dan sebagainya. Di sinilah kemudian pada awal 1995 terbit fanzine musik pertama di Indonesia yang bernama Revograms Zine. Editornya Dinan, adalah vokalis band Sonic Torment yang memiliki single unik berjudul “Golok Berbicara”. Revograms Zine tercatat sempat tiga kali terbit dan kesemua materi isinya membahas band-band metal/hardcore lokal maupun internasional.

Kemudian taklama kemudian fanzine indie seperti Swirl, Tigabelas, Membakar Batas dan yang lainnya ikut meramaikan media indie. Ripple dan Trolley muncul sebagai majalah yang membahas kecenderungan subkultur Bandung dan juga lifestylenya. Trolley bangkrut tahun 2002, sementara Ripple berubah dari pocket magazine ke format majalah standar. Sementara fanzine yang umumnya fotokopian hingga kini masih terus eksis. Serunya di Bandung tak hanya musik ekstrim yang maju tapi juga scene indie popnya. Sejak Pure Saturday muncul, berbagai band indie pop atau alternatif, seperti Cherry Bombshell, Sieve, Nasi Putih hingga yang terkini seperti The Milo, Mocca, Homogenic. Begitu pula scene ska yang sebenarnya sudah ada jauh sebelum trend ska besar. Band seperti Noin Bullet dan Agent Skins sudah lama mengusung genre musik ini.

Siapapun yang pernah menyaksikan konser rock underground di Bandung pasti takkan melupakan GOR Saparua yang terkenal hingga ke berbagai pelosok tanah air. Bagi band-band indie, venue ini laksana gedung keramat yang penuh daya magis. Band luar Bandung manapun kalau belum di `baptis’ di sini belum afdhal rasanya. Artefak subkultur bawah tanah Bandung paling legendaris ini adalah saksi bisu digelarnya beberapa rock show fenomenal seperti Hullabaloo, Bandung Berisik hingga Bandung Underground. Jumlah penonton setiap acara-acara di atas tergolong spektakuler, antara 5000 – 7000 penonton! Tiket masuknya saja sampai diperjualbelikan dengan harga fantastis segala oleh para calo. Mungkin ini merupakan rekor tersendiri yang belum terpecahkan hingga saat ini di Indonesia untuk ukuran rock show underground.

Sempat dijuluki sebagai barometer rock underground di Indonesia, Bandung memang merupakan kota yang menawarkan sejuta gagasan-gagasan cerdas bagi kemajuan scene nasional. Booming distro yang melanda seluruh Indonesia saat ini juga dipelopori oleh kota ini. Keberhasilan menjual album indie hingga puluhan ribu keping yang dialami band Mocca juga berawal dari kota ini. Bahkan Burger Kill, band hardcore Indonesia yang pertama kali teken kontrak dengan major label, Sony Music Indonesia, juga dibesarkan di kota ini. Belum lagi majalah Trolley (RIP) dan Ripple yang seakan menjadi reinkarnasi Aktuil di jaman sekarang, tetap loyal memberikan porsi terbesar liputannya bagi band-band indie lokal keren macam Koil, Kubik, Balcony, The Bahamas, Blind To See, Rocket Rockers, The Milo, Teenage Death Star, Komunal hingga The S.I.G.I.T. Coba cek webzine Bandung, Death Rock Star untuk membuktikannya. Asli, kota yang satu ini memang nggak ada matinya! pokoknya bandung best of the best.[666].

http;//timikadeathmetal.blogspot.com/